[Review Danur] Sebuah Potensi Yang Dibuang Sayang
Saya sudah lama menonton film horor yang sedang laris di bioskop tanah air ini, mungkin sekitar tiga minggu lalu. Berawal dari banyaknya postingan teman-teman di timeline IG dan juga FB, maka saya juga tertarik untuk menonton di bioskop terdekat. Apalagi saya juga sudah membaca novel Danur karangan Risa Saraswati yang telah lebih dulu memikat saya.
Sebetulnya Danur memiliki sebuah daya tarik menjanjikan semenjak thriller filmnya meluncur di pasaran. Dengan kepopuleran novel serta sosok Risa Saraswati yang memang terkenal memiliki kemampuan indigo, film ini sudah ditunggu banyak orang. Risa yang berani menceritakan persahabatannya dengan kawan-kawan tak kasat matanya sejak kecil, sudah memiliki basis fans tersendiri.
Film Danur, I Can See Ghost juga mengusung nama Prilly Latuconsina yang sedang naik daun. Film yang disutradarai oleh Awi Suryadi ini diprediksikan akan membawa kembali nuansa horor tanpa unsur semi porno seperti sebelumnya. Awi yang sebelumnya sukses membawa kengerian film Badoet di bioskop, mencampurkan unsur horor, thriller dan juga gothic di pengambilan gambarnya. Penonton sudah dibuat merinding dengan suasana rumah nenek Risa yang menjadi lokasi utama. Jangan lupakan nama Shareefa Danish yang sudah menjadi ikon horor dan thriller di Indonesia semenjak film Rumah Dara bisa membuat penonton, termasuk saya, merasa sama ngerinya seperti saat melihat Saw.
Film Danur, I Can See Ghost dibuka secara menjanjikan lewat dentingan piano yang dimainkan oleh Risa (Prilly Latuconsina) sambil menyanyikan lagu sunda Boneka Abdi. Suasana rumah yang suram membangun atmosfer seram sejak awal. Lalu alur berbalik ke awal di mana Risa kecil memperoleh teman tak kasat matanya saat ulang tahun yang kedelapan. Selalu hidup kesepian di rumah karena kesibukan kedua orang tuanya, membuat Risa berkeinginan untuk mempunyai teman. Doanya dikabulkan dengan kehadiran Peter dan kawan-kawannya dari dunia lain.
Risa kecil tidak menyadari jika sahabat-sahabatnya itu bukanlah manusia. Asisten rumah tangganya melihat Risa bermain serta tertawa-tawa sendirian. Keanehan demi keanehan mulai terjadi ketika ibu Risa (Kinaryosih), menemukan coretan di lantai yang mendadak menghilang. Sampai puncaknya ketika seorang psikolog enggan untuk membantu karena keganjilan itu sudah tidak bisa dinalar secara akal sehat. Risa kehilangan kemampuan untuk melihat kawan-kawannya ketika mereka mengajak Risa untuk melompat dari balkon. Beruntung seorang dukun berhasil mencegah hal tersebut. Keluarga Risa pun pindah supaya Risa bisa terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Sayangnya, pembukaan yang menjanjikan itu tidak dikemas secara konsisten memasuki konflik inti film. Prilly mungkin berhasil mengeksplor sisi ketakutannya tapi karakterisasinya malah kalah kuat dibanding Asih yang diperankan Shareefa Danish. Riri, adik Risa yang pertama kali bertemu dengan Asih. Asih menyamar sebagai pengasuh baru untuk Riri. Risa dan keluarganya memang terpaksa kembali karena harus menjaga si nenek yang sakit-sakitan. Dari sini sebenarnya penonton sudah mendapat kengerian baru dari sosok nenek yang diperankan Inggrid Wijanarko. Sayangnya, tokoh nenek hanya dibuat sekadar sebagai tampilan. Padahal si nenek inilah yang pertama kali menyadari jika Asih bukanlah manusia biasa.
Jump scare dan sound memekakkan telinga sering dipakai untuk mengagetkan penonton. Kentara sekali jika film hanya dibuat untuk mengejutkan atau mengagetkan tanpa peduli esensi ceritanya. Andai karakter Peter dan kawan-kawannya digali lebih dalam, pasti akan ada bumbu menarik seperti di dalam novel. Bagaimana mereka mati di tangan penjajah Jepang, serta kengerian ketika menjelang kematian pasti menaikkan intensitas horor. Baru disambung ke level kengerian masa kini yang dibawa si hantu Asih.
Adegan-adegan menyeramkan di dalam film juga seperti tempelan dari beberapa film horor luar negeri yang sudah lebih dulu terkenal. Contohnya adegan Prilly yang menahan takut luar biasa saat melihat Asih duduk di kursi goyang, ini mirip di adegan Conjuring. Atau di adegan Asih menyerang sepupu Risa, sedikit mirip dengan karakter hantu perempuan di film The Grudge lengkap dengan gerakan patah-patahnya. Ditambah bagaimana Asih keluar dari cermin, di serangan pertamanya pada Risa, mengingatkan saya pada adegan Sadako yang keluar dari televisi. Jump scare di mana-mana namun nihil kreativitas.
Saya justru lebih jantungan saat adegan Asih melirik dengan tatapan khas seramnya atau saat sepupu Asih melihat sosok Asih yang menghilang di balkon. Seandainya, film tidak disajikan terlalu terburu-buru, pasti akan lebih mantap kemasannya. Meskipun ada beberapa lubang di bagian penyampaian cerita, sinematografi film Danur sudah sangat menawan. Aura gothic nan kelam, membangkitkan sisi mistis yang ingin diusung.
Overall, film ini membawa nafas baru di kancah genre horor Indonesia. Semoga hal ini menjadi pembuka untuk film-film lainnya yang lebih berkualitas. Kesuksesan film ini sangat membanggakan. Saya rindu dengan film horor berkualitas lainnya seperti Jelangkung, Pocong 2 dan Kuntilanak. Yang paling keren masih tetap Shareefa Danish. Dia layak dijuluki The Queen of Terror dari Indonesia.
1 Komentar
Seandainya film ini minim dialog menurutku malah lebih bagus. Yang ada dialognya malah terdengar kurang alami.
BalasHapusAkting paling top jelas Shareefa Danish! :D
Pas dia muncul selalu bikin creepy...
Silakan berkomentar dengan sopan tanpa menyinggung SARA, ya ^_^