Review Spencer: Sisi Lain Saat Paling Tertekan Lady Diana
Lady Diana adalah sosok yang melegenda. Sejak dahulu kala, kerajaan Inggris punya sejarah keluarga kerajaan yang tidak sederhana. Makanya, film- film yang menggunakan latar belakang kerajaan Inggris dari Dinasti Tudor pun tetap menarik untuk ditonton. Apalagi setelah pernikahan Diana Spencer dan Pangeran Charles diselenggarakan. Pernikahan itu disebut-sebut sebagai pernikahan termegah pada abad 20 akhir.
Saat Lady Diana ditayangkan kembali dalam sebuah film reka ulang yang dibintangi salah satu aktris kesukaan saya, Kirsten Stewart, saya bisa menangkap sisi depresifnya dari trailer film. Beruntung saya bisa menonton film yang mengantarkan si Mbak Bella Swan kepada nominasi Best Actress Oscar pertamanya di aplikasi Klik Film.
Tekanan untuk Sang Putri Mahkota
Layaknya film Joker yang juga sukses memikat saya, film Spencer ini juga membuat saya menahan sesak sejak awal. Tayangan dibuka dari sosok Lady Diana yang mengemudi mobilnya sendirian. Ia tersesat lalu sempat bertanya kepada warga setempat, sampai orang-orang di sekitarnya melongo.Nampaknya, Diana tidak peduli. Ekspresinya terlihat menikmati momen itu. Wajahnya murung ketika sampai di sebuah kastil megah yang kelihatannya digunakan untuk berlibur oleh keluarga kerajaan.
Diana harus memakai pakaian yang berbeda sesuai jadwal acara. Penata busana yang bernama Maggie, menjadi sosok terdekat di istana yang bisa memahami Diana, selain kedua putra kandungnya. Film ini tidak bertele-tele dalam menyajikan awal mula Diana menjadi pemurung dan mengalami gangguan makan. Bagi pentonton gen-Z perlu membaca artikelnya dulu sebelum kebingungan menonton Spencer.
Diana dianggap sebagai sosok rebel di dalam keluarga kerajaan. Para jurnalis berusaha mendapatkan berita mengenai Diana, seperti ada yang menuliskan ketika sang Putri Mahkota berganti pakaian tanpa menutup tirai. Ada saja mata elang pemburu gosip di sekitar kemegahan istana.
Bagi penonton yang punya isu mental health, saya sarankan cek kondisi diri dulu. Film ini penuh adegan yang berisiko memicu trauma. Saya yang baik-baik saja, bisa ngilu melihat Diana membayangkan diri mengunyah kalung mutiaranya. Kalung yang dikenakan oleh Diana, sama persis dengan kalung yang diberikan suaminya untuk perempuan lain. Namun, Diana tidak punya pilihan untuk mengeluarkan pendapat, bahkan untuk sekadar memilih baju.
Diana dalam Spencer bukanlah sosok protagonis. Saya sampai merasa lebih iba dengan tokoh William yang berusaha menjaga ibunya agar tidak lepas kontrol. Di film ini kita bisa melihat jika kedewasaan William terasah karena ia tidak ingin ibunya lepas kendali.
"Mom, lakukan ini demi aku.'' Ya, kedua putra Diana menjadi baut penguat Princess of Wales pada episode-episode paling depresif.
Stewart bisa menjiwai adegan tertekannya sampai bagian halusinasi yang meningkat seiring niat Sang Putri untuk mengakhiri hidup. Saya jadi sadar jika bukan sepenuhnya salah istana jika ingin membatasi ruang gerak Diana. Mereka sendiri juga terikat aturan keluarga kerajaan yang sudah dibentuk berabad-abad lalu, terlepas banyaknya tragedi di dalamnya.
Simbolisasi Kebahagiaan dari Ketidaksempurnaan
Keberanian Diana di paruh terakhir film menunjukkan pertumbuhan yang juga memberi harapan. She was trying the best to fight. Ia hanya ingin bisa menjadi ibu yang hangat dan suportif untul kedua putranya. Satu-satunya hal yang bisa membuatnya bernapas dan tertawa adalah saat bersama mereka.Sosok fiktif Maggie juga memberi ruang kesegaran dalam film sehingga saya tidak melulu terjebak dalam murungnya Diana. Film ini memberikan harapan yang selalu ada meski ukurannya sebesar kelereng.
Spencer adaalah film terbaik bagi Kirsten Stewart. Ya tentu ini pendapat pribadi. Ia berkembang sangat pesat dari filmnya di masa lalu sepeerti Twilight. Tonton film ini dan lihat betapa saya benar menilai kualitasnya
Baca Juga: The Worst Person In The World
1 Komentar
Perlu ditonton nih. Saya suka banget film2 yang based on true story. Nice inpoh mb
BalasHapusSilakan berkomentar dengan sopan tanpa menyinggung SARA, ya ^_^